Mengenal Jenis Keris Dan Maknanya

Pengetahuan Seputar Keris.

Waktu terus berlalu tahun terus berganti dan sekarang kita telah memasuki abad ke dua puluh satu, jaman telah berubah, sehingga perlu kita sadari bahwa perlu dilakukan pelestarian hasil karya seni kebudayaan para leluhur kita agar tidak terkikis akan perkembangan jaman. Bila kita melihat hasil karya seni para leluhur kita yang telah dibuat beberapa abad yang lalu cukup membanggakan serta mempunyai nilai seni dan makna yang tinggi. Salah satu peninggalan hasil karya tersebut berupa Tosan Aji yang berwujud keris dan tombak. Tosan Aji atau Besi Aji maknanya seperti dengan namanya merupakan besi yang selayaknya diaji-aji (nilai penghormatan).

Maksud dari disini bukan berarti harus disembah-sembah tetapi selayaknya dihormati karena merupakan warisan budaya nenek moyang kita yang bernilai tinggi. Bila kita mengetahui bahwa pada saat pembuatannya para empu tidak hanya menciptakan suatu hasil karya yang berupa senjata untuk membunuh atau menyakiti tetapi mempunyai tujuan yang lain seperti untuk yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri. Ini semua dapat dilihat dari proses pembuatannya yang harus menempuh laku tapa dan sesaji serta mencari bahan baku yang prosesnya cukup lama.Posisinya sebagai pusaka tosan aji mendapat perlakuan khusus mulai dari proses menyimpan, membuka dari sarung sampai dengan merawatnya, hal ini sudah merupakan seni budaya sendiri.

Dengan segala kerendahan hati serta sebagai suatu upaya dari kami untuk ikut melestarikan hasil karya para leluhur kita tersebut, maka kami mencoba untuk menyusun beberapa bahan

dan sumber mengenai tosan aji dalam suatu tulisan ini. Harapan kami ini akan sedikit memberikan gambaran dan wawasan mengenai dasar-dasar pengenalan Tosan Aji. Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan. Selanjutnya harapan kami diktat ini dapat bermanfaat dan sedikit memberikan dasar pengenalan tentang Tosan Aji warisan leluhur harus tetap kita jaga kelestarianya...

I. RONGKO BUSANA TOSAN AJI KERIS

Warangko keris terdiri dari 2 macam bentuk :

1. Gayaman

2. Ladrang/Branggah

Perlengkapan Busana Rongko keris terdiri dari beberapa bagian:

1. Ukiran/Pegangan keris

2. Gandar

3. Mendak

4. Selut

5. Pendok

Busana Keris dan Ricikannya bermakna sebagai berikut :

1. Ukiran maknanya Gusti Maha Luhur melebihi apa saja

2. Warangka maknanya Pasti hidup tidak mati

3. Godhong maknanya Dua jiwa bersatu, Gusti dan kawula itu harus se-iya sekata

4. Agkup maknanya Hamba yang berserah diri pada Tuhan

5. Latha maknanya Kotoran anak rambut dipelipis

6. Ri cangkring maknanya Pundak

7. Gandar maknanya sosok tubuh kita spt sudah kodrat

8. Pendok maknanya Benar sopan santun kita

9. Kandelan maknanya Dalam hati harus tebal kepercayaan kepada Tuhan

10. Kethekan maknanya Penantian ke-Esaan Tuhan

11. Mendak maknanya Harus bisa menundukkan hati.

Bahan warangka keris dapat terbuat dari bermacam bahan antara lain seperti :

1. Kayu Sonokeling

2. Kayu Cendana Wangi

3. Kayu Trembalu

4. Kayu Gembol Jati

5. Kayu Akasia

6. Kayu Nogosari

7. kayu Awar-awar

8. Tanduk Kerbau

9. Kayu Galih Asem

10. Kayu Cendana Jawa

11. Kayu Timoho

12. Kayu Kemuning

II. MEMILIH HARI BAIK UNTUK MBUSANANI KERIS TOSAN AJI

Dalam membuat warangka keris untuk mbusanani keris Tosan Aji berdasarkan pupuh 20 serat Centini jilid IV terdapat ketentuan memilih hari baik dan hari pantangan sebagai berikut:

• Hari yang baik :

1. Selasa Pahing

2. Rabu Pon

3. Rabu Pahing

4. Kamis Pahing

5. Kamis Pon

• Hari Pantangan :

1. Rabu Kliwon wafatnya Pangeran Sedayu

2. Senen Legi wafatnya Pangeran Sendang

3. Senen Wage wafatnya Pangeran Welang

4. Akhad Wage wafatnya Pangeran Cindheamoh

III. PEDOMAN MEMBUAT KERIS

Menurut Ki Kapalang, membuat keris selalu dimulai dengan mengukur panjang ganja. Kemudian bilah keris diukur berapa

kali panjang ganja. Pengukuran selalu dimulai dari pangkal (bongkot), diluar pesi, hingga pucuk hitungannya : CAKRA-GUNDHALA-GUNUNG-GUNTUR-SEGARA-MADU. Yang baik jika jatuh Gunung, Segara dan Madu.

Jika pengukurannya dibalik, jadi dari pucuk ke bongkot, yang terbaik jika jatuh pada gunung.  Adapun pedoman membuat tangkai tombak adalah, Ukurlah panjang tangkai tombak itu dengan kepal tangan pemilik tombak.


Urutannya: SANGGA-RUNGGI-SARAH-WATANG-SANGGA dst.

Yang terbaik jika jatuh Sangga.


IV. RICIKAN KERIS


Ricikan merupakan ciri dhapur keris. Tidak semua keris memiliki ricikan yang lengkap sehingga kita bisa membedakan

dhapur keris. Sebuah keris dalam garis besarnya dapat dibagi dalam beberapa bagian yaitu :

1. Pesi

2. Ganja

3. Wilah


V. EMPU PEMBUAT KERIS TOSAN AJI


1. Jenggala tahun 1119 Saka. Raja Prabu Lembu Miluhur Kerajaan Jenggala.


Empu Kerajaan Jenggala :

Empu Joyosemito

Empu Joiruno

Empu Supowinangun


2. Pajajaran tahun 1170 - 1284 Saka.

Kerajaan Pajajaran:


Prabu Surya Miluhur

Prabu Banjaran Sekar

Prabu Mundhingsari

Prabu Sri Pamekas

Prabu Siyung Wanara

Empu of Pajajaran :

Empu Andaya Jenggala

Empu Widusarpa

Empu Ajatsari

Empu Marcukundha,Ki Macan,Ki Kuwung

3. Majapahit tahun 1303 - 1429 Saka

Kerajaan Majapahit:

Prabu Brawijaya

Prabu Brawijaya Terakhir

Prabu Sah Akbar Alam

Empu Kerajaan Majapahit :

Empu Supodriyo

Empu Jokosupa (Pangeran Sedayu)



SILSILAH EMPU DARI ZAMAN MAJAPAHIT, EMPU SURO


1. Majapahit Empu Supodriyo

2. Majapahit Empu Jokosupa (pangeran

sedayu)

3. Tuban Empu Supoanom

4. Tuban Empu Sektilanang

5. Mataram Ny. Panjang Emas (Empu P.

Panjang Emas)

6. Mataram Empu Cindeamoh

7. Mataram Empu Suponyang

8. Kartasura Empu Entowayang 

9. Kartasura Mas Ayu Kadarsih (Empu P.

Hangabei)

10. Surakarta Raden Ayu Pandit (Empu Pandit)

11. Ngentho-entho (Yogya) Ny. Badur (Empu Badur)

12. Ngentho-entho (Yogya) Empu Kertoyudo

13. Jenggalan Empu Joyosemito

14. Jenggalan Empu Joiruno 

15. Jenggalan Empu Supowinangun:

16. Beranak Putri 

Yoso Pangarso

Genyo Diharjo

Wignyo Sokoyo

Jeno Harumbrojo 



VI. RAGAM PAMOR DAN DAYA PERBAWAN


Pembuatan pamor tergantung pada permintaan pemesan, fungsi pusaka yang dibuat, dan cita rasa empu yang bersangkutan. Paling tidak, jenis pamor di pakai sesuai dengan keperluan untuk tujuan apa keris itu diciptakan. Karena itu dapat di duga bahwa ragam pamor juga seiring dengan ragam tujuan pembuatan keris.

Adapun yang sudah tercatat baru 19 jenis pamor, dengan daya perbawan masing-masing. Jenis pamor dan daya perbawa dari 19 macam itu antara lain Daya Kewibawaan:


1. Bala Pandita --> Keselamatan dan disayangi sesama

2. Benda Segada --> Banyak orang berguru padanya

3. Tundung --> Menolak Orang Jahat

4. Pancuran Mas --> Mudah Mencari Harta Benda dan kesulitan

5. Dandang Ngelak --> Yang punya berhati keras, banyak musuh.

6. Kul Buntet --> Pusaka Bagi Para Prajurit

7. Pengasih --> Penangkal Kejahatan dan gangguan hewan buas

8. Rajah --> Untuk tumbal

Rumah,terhindar dari niat jahat

9. Pulo Tirta​ --> Menolak Kejahatan Musuh, Menimbulkan Keteguhan

10. Segara Wedi --> Baik bagi Penguasa, PejabatNegara

11. Batu Lapak --> Untuk Keselamatan

12. Blarak Sineret --> Berwibawa sekalipun tidak dikeluarkan

13. Prabawa --> Besar Kewibawaannya

14. Wulan Lima --> Memperoleh Kehormatan dari sesamanya

15 Manggala --> Keselamatan

16. Sumber --> Untuk pedagang/pengusaha agar lekas jadi besar.

17. Pulo Duyung --> Dicintai sesama

18. Sanubari --> Baik Bagi Pinisepuh, Guru,

Ulama,dll

19. Gunung Guntur --> Penangkal penyakit


VII. RAGAM PAMOR TOSAN AJI


Setiap Empu akan tersohor karena hasil pekerjaannya memperlihatkan ciri khas. Ciri khas karya seorang empu, secara umum dapat dikenali lewat apa yang bagi kalangan peminat keris pusaka di sebut sebagai Penanguhan. Secara khas dan khusus lagi, setiap empu yang sudah jadi dan mapan, dia mampu melahirkan model pamor baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Meskipun dia menggarap keris pusaka dengan model pamor yang sudah ada,akan tetapi pamor hasil garapan empu tersebut juga memperlihatkan ciri dan corak khas. Dari sejumlah sumber tertulis dan lisan yang sempat terekam di samping 80 model pamor hasil gambarannya, adalah sebagai berikut :


1. Pamor Bugis

2. Pamor Guladata

3. Pamor Mrambat

4. Pamor Pulotirto

5. Pamor Gajih

6. Pamor Manggada

7. Pamor Sanak

8. Pamor Segara Wedi

9. Pamor Brojol

10. Pamor Bala Pandita

11. Pamor Pejetan

12. Pamor Gunung

13. Pamor Byor

14. Pamor Batu Lapak

15. Pamor Buntal Mayit

16. Pamor Lintang Johar

17. Pamor Kulit Semangka

18. Pamor Lintang Kumukus

19. Pamor Beras Wutah

20. Pamor Songsong

21. Pamor Udan Mas

22. Pamor Sungsum

23. Pamor Blarak Sineret

24. Pamor Camar

25. Pamor Ron Kendhuru

26. Pamor Kembang Lo

27. Pamor Sada Sak-Ler

28. Pamor Sinom Robyong

29. Pamor Putri Tumurun

30 Pamor Payung Kunarpo

31. Pamor Rajah

32. Pamor Dandang Ngelak

33. Pamor Walang Sinundukan

34. Pamor Tambal

35. Pamor Kenongga Ginugah

36. Pamor Bonang Sarenteng

37. Pamor Tambal Wengkon

38. Pamor Bendha Segada

39. Pamor Unthuk Banyu

40. Pamor Ganggeng Kanyut

41. Pamor Sekar Lampes

42. Pamor Dwi Warna

43. Pamor Sekar Pala

44. Pamor Ujung Gunung

45. Pamor Mlinjon

46. Pamor Kul Buntet

47. Pamor Kendagan

48. Pamor Wulan Lima

49. Pamor Adeg Rambut

50. Pamor Prabowo

51. Pamor Pandan Iris

52. Pamor Tundung

53. Pamor Lawe Satukel

54. Pamor Pulo Duyung

55. Pamor Mayang Mekar

56. Pamor Pancuran Mas

57. Pamor Kara Welang

58. Pamor Sumber

59. Pamor Trithik

60. Pamor Pengasih

61. Pamor Tumpal Keli

62. Pamor Sanubari

63. Pamor Pedaringan Kebak

64. Pamor Bawang Sebungkal

65. Pamor Sumur Sinaba

66. Pamor Manggar

67. Pamor Sekar Kopi

68. Pamor Melati Rinonce

69. Pamor Ron Pakis

70. Pamor Mrutu Sewu

71. Pamor Ri Wader

72. Pamor Lar Gangsir

73. Pamor Sumur Bandung

74. Pamor Jarot Asem

75. Pamor Tiban

76. Pamor Putri Kinurung

77. Pamor Telaga Membeng

78. Pamor Rojo Gumbolo



Nama pamor disesuaikan dengan karaktristik nama benda yang diambil sebagai nama pamor itu. Umpama daya cipta empu yang membuat pamor ternyata mirip blarak yang di seret, daun kelapa yang di seret diatas tanah berdebu, yang menimbulkan bekas khas dan menimbulkan daya tarik. Karena itu pamor yang dibuat dengan pola model tersebut dinamakan pamor Blarak

Sineret. Pamor yang dibuat mengambil pola model daun Kendhuru, karena itu pamor tersebut di beri nama Ron Kendhuru, begitu seterusnya.

Satu hal jelas, seorang empu keris pusaka tanah jawa sejak dahulu kala di kenal sangat akrab dengan alam, tumbuhan, alam binatang, dan alam benda. Tapi mengapa empu keris pusaka tanah Jawa dalam kreasinya memanfaatkan adonan berbagai unsur metal, baja, besi, nikel, dan titanium pada masa dulu hingga kini, karena mereka tidak cukup bila berasal dari satu dimensi pengetahuan modern belaka.



VIII. IDENTIFIKASI DHAPUR KERIS


Dhapur adalah bentuk/model/wujud baku yang telah turun-temurun sebagai patokan pembuat keris. Seorang empu dalam membuat keris tidak akan meninggalkan bentuk baku. Dalam garis

besarnya dapat dibedakan dua macam dapur keris, yaitu berdapur lurus dan yang berdapur luk atau kelokan/bergelombang. Jumlah kelokan selalu diambil gasal, tidak genap. Jadi selalu berjumlah 1, 3, 5, 7, 9 dst.

Dalam perdagangan keris nama dhapur sering dipermudah sebagai berikut:

1. Keris lurus disebut Jalak

2. Keris Luk 3 disebut Jangkung

3. Keris Luk 5 disebut Pendhawa

4. Keris Luk 7 disebut Sempana atau Sumpana

5. Keris Luk 9 disebut Jigja

6. Keris Luk 11 disebut Sabuk inten atau Carita

7. Keris Luk 13 disebut Sengkelat, ada juga Parungsari


Dhapur keris lurus:

1. Panji Anom

2. Jaka Tuwo

3. Bethok

4. Karna Tinandhing

5. Semar Bethak

6. Regol

7. Kebo Teki

8. Jalak Nguwuh

9. Sempani

10. Jamang Murub

11. Tumenggung

12. Tilam Upih

13. Pasopati

14. Condhong Campur

15. Jalak Dhinding

16. Jalak Ngore

17. Jalak Sangu Tumpeng

18. Mendarang

19. Mesem

20. Semar Tinandhu

21. Ron Teki

22. Sujen Ampel

23. Kelap Lintah

24. Yuyu Rumpung

25. Brojol

26. Laler Mengeng

27. Puthut

28. Jalak Sumelang Gandring

29. Mangkurat

30. Mayat Miring

31. Kalam Munyeng

32. Pinarak

33. Marak

34. Jalak Tilamsari

35. Tilamsari

36. Jalak Lola

37. Wora-wari

38. Wora-wari

39. Sinom

40. Kala Misani


Dhapur luk tiga (3)

1. Jangkung Pacar

2. Maesa Soka

3. Maesa Nempuh

4. Mayat

5. Jangkung Pacar

6. Tebu Sauyun

7. Bango Dholok

8. Manglar Munya

9. Campur Bawur

10. Segara Winotan

11. Jangkung Cinarita


Dhapur Luk Lima (5)

1. Sinarasah

2. Pudhak Sategal

3. Pulanggeni

4. Pandhawa

5. Anoman

6. Kebo Dhengen

7. Kalanadhah

8. Pandhawa lare

9. Urap-urap

10. Naga Salira

11. Kebo Dhendheng

12. Pandhawa Cinarita

11. Jangkung Cinarita


Dhapur Luk Tujuh (7)

1. Balebang

2. Murma Malela

3. Carubuk

4. Jaran Guyana

5. Naga Kras

6. Sempana Punjul

7. Sempana Bungkem

8. Carita Casapta


Dhapur Luk Sembilan (9)

1. Kidang Mas

2. Panji Sekar

3. Sempana

4. Jaruman

5. Jarudheh

6. Paniwen

7. Panimbal

8. Kidang Soka

9. Carang Soka

10. Sabuk Tampar

11. Buto Ijo

12. Sempana Kalenthang

13. Carita Kanawa


Dhapur Luk Sebelas (11)

1. Carita Bungkem

2. Carita Prasaja

3. Carita Kaprabon

4. Carita Daleman

5. Sabuk Inten

6. Cluring Regol

7. Carita Genengan

8. Carita Gandhu

9. Sabuk Tali

10. Jaka Wuru


Dhapur Luk Tigabelas (13):

1. Caluring

2. Sangkelat

3. Johan Mangan Kala

4. Nagasasra

5. Parungsari

6. Kantar

7. Luk Gandhu

8. Sepokal

9. Karawelang

10. Naga Selumen

11. Bima Kurdha


Dhapur Luk 17, 19, 21, 25, dan 29

• Luk 17 Ngamper Buta Lancingan

• Luk 19 Trimurda Kala Tinantang

• Luk 21 Drajit Trisirah

• Luk 25 Bima Kurdha

• Luk 27 Taga Wirun

• Luk 29 Kalabendu


Keris-keris pusaka Kraton hanya sampai berluk13 saja. Keris yang berluk lebih dari 13 disebut keris Kalawijan atau Palawijan, yang tidak termasuk Pusaka Kraton.


IX. SEKILAS TENTANG PROSES MARANGI


Tujuan marangi untuk membersihkan besi aji dari karat. Memberi efek keindahan pada besi aji.Besi tampak lebih hitam dari bagian pamor. Mewarangi secara tepat untuk mengawetkan Tosan Aji supaya tidak beracun. Jika berkarat segera diwarangi, walaupun belum bulan Sura. Tosan Aji merupakan besi untuk diaji-aji. Bukan untuk disembah tapi untuk dihormati dan dijaga kelestariannya karena merupakan warisan leluhur yang bernilai tinggi. Waktu pembuatan keris oleh para empu bukan hanya mencipta senjata untuk membunuh dan melukai. Tapa dan sesaji mengiringi pembuatan Tosan Aji keris.


Besi (Tosan) aji tidak berfungsi sebagai alat pembunuh, tetapi sebagai pusaka dan pelengkap busana. Sebagai pusaka, besi aji diperlakukan istimewa. Mulai dari menyimpan, membuka dari sarung sampai merawatnya diiringi rasa hormat. Banyak yang kurang setuju jika tosan aji diperlakukan dengan penemuan-penemuan baru. Seperti pengolesan Tosan Aji dengan PVA (Polyvinyl Acetate) agar awet. Dari segi konservasi benda budaya pengolesan polimer adalah cara tepat. Dari segi pelestarian itu tidak tepat, karena Tosan Aji kehilangan kegagahan dan kewingitannya. Kebiasan menganin-angin

wayang kulit secara rutin dapat mengawetkan benda dari kerusakan, seperti keris, tombak, pedang, wedhung, kudi dan sebagainya jika dirawat dengan baik dapat menahan kikisan cuaca dan jaman. Tosan aji yang disimpan di Karaton Ngayogyakarto masih tampak baru walaupun telah ratusan tahun. Cara pemeliharaan Tosan Aji adalah marangi atau menyirami. Marangi dari kata warangan, artinya arsenikum, sebuah racun. Dalam proses marangi menggunakan warangan.


X. KANDUNGAN KOMPOSISI TOSAN AJI


Besi aji dilengkapi dengan pamor yang berasal dari meteor, dan pelikan. Dibanding dengan besi,bagian pamor lebih tahan korosi (pengaratan). Para empu menyembulkan bagian pamor lebih tinggi dari besinya. Besi lebih cepat terkena oksidasi dari pada pamor. Karat besi awal dari ausnya besi, kecuali jika diawetkan.


Secara kimiawi marangi adalah upaya membentuk lapisan pelindung berwarana hitam terdiri dari arsenat besi yang tahan karat. Karat terjadi karena lembab dan sisa-sisa asam waktu mewarangi. Bisa juga karena asam butirat sebagai peruraian minyak kelapa untuk meminyaki besi aji. Mewarangi adalah proses pemberian coating perlindungan bilah tosan aji.


XI. MACAM-MACAM WARANGAN


Proses marangi dengan mengoles permukaan bilah besi aji dengan larutan jeruk nipis (citrus aurantifolia ) dengan warangan. Buah jeruk masak mengandung 7% asam sitrun (C6H8O7) dan asam organik lain. Warangan alami terdapat realgar (AS2S2), arsenikkies (FeSAs), glans kobalt(COSAs), auri pigment (AS2S3) dan lainnya. Kandungan warangan dalam pelikan sekitar 6-10%. Warangan alami yang baik berwarna

jingga sampai ungu. Lebih ungu lebih baik seperti kembang telasih. Warangan apotek terdiri dari arsen trioksida (AS2O3), berwarna putih bersih dan sangat beracun. Warangan Murni ada dua macam:


1. Jenis PA (Pro Analyse)kadar 99,5% AS

2. Jenis warangan teknis,kadar 75%.


Biasanya tercampur dengan AS2S3 berwarna merah muda. Sebelum diwarangi kupas kulitnya sebelum diperas. Pencemaran kulit jeruk menyebabkan besi menjadi hijau atau kuning kehijauan.


XII. SAJEN PROSES MARANGI


Beras dalam mangkuk dengan telur ayam kampung diatasnya. Gula jawa satu tangkap. Sebutir kelapa/kelapa muda.

Pisang raja satu pasang. Ayam hidup satu/dua ekor. Jenang katul, putih, merah, kuning, hitam, merah putih, palang, putih dengan parutan kelapa dan gula jawa (manca warna). Nasi gurih (rasulan) dengan ingkung ayam, tumpeng, robyong, asrep-asrepan, jajan pasar, pala kependhem, kesimpar, gantung. Buaha-buahan rujak-rujakan, sirih lengkap, cerutu atau rokok siong, segelas kopi hitam dan segelas teh kental, Kembang setaman, Kemenyan madu, Kembang telon atau manca warna. Sesaji sebagai sarana mohon kepada Tuhan YME agar selama marangi berjalan lancar dan sebagai sarana penghormatan para empu, leluhur, dan arwah nenek moyang. Kelapa untuk persediaan jika terjadi keracunan, air kelapa dapat diminum untuk menangkal racun warangan.


XIII. PERSIAPAN PROSES MARANGI


Marangi biasanya dilakukan pada bulan sura pada hari selasa kliwon, jum'at kliwon / jum'at legi / bisa juga selasa legi, sehari sebelumnya biasanya berpuasa terlebih dahulu. Selama proses marangi semua petugas yang terlibat diharuskan berbusana kejawen dan pantang makan, minum, merokok dsb.

Selama marangi harus membisu tidak boleh berbicara. Jaman sekarang hal itu sudah jarang dilakukan. Peralatan yang harus disediakan ember air bersih, ember air bunga, dan ember kosong untuk limbah, sikat-sikat khusus untuk marangi dan memutihkan, jeruk nipis yang telah dikupas kulitnya, warangan, minyak kelapa, krengsengan 200 cc dan minyak cendana 20 cc/lebih. Kawul iratan bambu / kertas tisu.

Lap-lap yang bersih. Dan tak lupa lerak (sapindus rarak) yang telah dihancurkan dalam air. Kalau terpaksa dapat digunakan deterjen. Jeruk yang telah dikupas kulitnya diiris-iris dan diperas dengan kain bersih dan ditampung dalam dua tempat khusus. Sebuah untuk memutihkan bilah besi aji dan sebuah lagi untuk melarutkan warangan. Warangan alami harus ditumbuk halus terlebih dahulu sebelum dilarutkan dalam air jeruk. Sedangkan perbandingan larutan jeuk dan warangan, baik murni/alami dikira-kira saja. Dapat digunakan imbangan 1 sendok teh dan 50 cc air jeruk/lebih. Untuk mempercepat pelarutan dapat ditambahkan sedikit larutan basa seperti NaOH/KOH. Dapat pula dengan memanaskan sedikit di atas api. Besi aji yang akan diwarangi sebaiknya dilepas dari sarungnya dan hulunya. Keris dan tombak banyak yang dijabung dengan lak pada hulunya. Untuk melepasnya mudah sekali, yaitu panaskan pada bagian bawah bilah diatas lampu teplok / lilin. Dengan alas sebuah lap bersih putar pelan-pelan bilah itu keluar dari hulunya. Dalam keadaan sudah berkarat sekali dapat ditolong dengan meneteskan minyak rem mobil

pada celah-celah antara bilah dan pegangan selama 24 jam / lebih. Besi aji yang sudah kelewat karatan dapat direndam dalam air kelapa yang sudah diberi irisan jeruk nipis dan pace (mengkudu) yang sudah masak. Rendaman itu bisa semalam tetapi dapat juga lebih dari dua hari tergantung pada tingkat karatnya. Hal itu dilakukan menjelang siraman.


XIV. PROSES MARANGI


Mewarangi paling baik jika dilakukan diwaktu pagi dalam udara cerah. Lakukan didalam rumah yang bebas dari gangguan anak-anak dan lalu lintas keluarga. Sebaiknya diserambi rumah.

Semua perlengkapan disediakan diatas tikar yang digelar. Sesaji dipisah khusus, berdekatam dengan alat-alat untuk marangi. Selama marangi sebaiknya dilakukan dengan duduk bersila agar

keamanan lebih terjaga. Awal pekerjaan dimulai dengan membakar kemenyan. Ujubnya mohon kepada Tuhan YME agar pekerjaan berjalan lancar dan selamat. Disamping mohon berkah pangestu kepada arwah-arwah empu dan para leluhur semoga besi aji memberi kegunaan yang lebih bagi pemiliknya.


Tata cara marangi berlangsung sbb:


1. Besi Aji dipegang dan di guyur dengan air kembang setaman, setelah itu dicuci (disikat) dengan air lerak (deterjen) supaya bebas dari minyak langsung di lap hingga kering.


2. Sikat khusus mulailah pemutihan. Sikat dari rambut kuda. Celupkan sikat sedikit ke dalam perasan jeruk, sikat dari bilah besi aji. Jangan sikat bolak balik, tapi satu arah saja, dari bongkot atau pangkal ke ujung bilah keris atau tombak. Diamkan selama beberapa menit hingga bilah berwarna hijau hitam. Sikat lagi. Diamkan beberapa menit. Lakukan terus menerus sampai karat-karatnya melepas hingga bilah berwarna

agak kuning kehijauan kemudian jadi hitam. Guyur dengan air, sikat hingga bilah menjadi putih seperti almunium. Cepat-cepat cuci dengan air bersih dan lap dengan kawul atau tissue caranya cukup ditekan tekan saja, jangan digosok. Angin-anginkan hingga kering, jangan dijemur...!!!


3. Besi aji yang kering dijatuhi larutan warangan pakailah sikat khusus atau kuas bersih. Ambil sedikit oleskan pada bilah dalam satu arah. Ujung bilah menghadap miring kebawah dilakukan berkali-kali hingga besi tampak hitam. Guyur dengan air berulang-ulang dan sikat terus. Guyur sambil disikat dengan air bersih sampai sisa asam dan warangan habis. Lalu keringkan dengan kawul atau tissue seperti tahap (2).


4. Tahap akhir adalah memberi olesan minyak, dilakukan setelah kering betul atau saat semua bilah dikembalikan pada hulu dan tangkainya. Untuk mengawetkan warangan keris sebaiknya dalam meminyaki jangan terlalu basah lalu angin-anginkan hingga betul-betul kering.



XV. METODE SIRAMAN


Ada metode siraman dengan cara yang lain :


1. Cara Nyek, sediakan larutan jeruk nipis yang diberi warangan dan 'cemengan' yaitu air bekas cucian marangi yang sudah menghitam. Keris yang telah diputihkan dijemur antara jam 8-11

pagi. Jika sudah panas celupkan jari tangan dalam larutan warangan diatas kemudian pijatlah besi aji dari pangkal keujung, bilah akan mulai menghitam. Jika sudah hitam guyur dengan air dan sikat dengan abu gosok, tahap ini disebut dikeplok. Sikat dengan hati-hati agar hitam tidak luntur setelah bersih lap hingga kering lalu dijemur lagi, begitu seterusnya diulang sampai pamor didapat. Tahap terakhir mencuci dengan landha abu jangkang dengan maksud sisa asam jeruk hilang kemudian cuci dengan air bersih keringkan dan jemur. Pelumasan dilakukan setelah besi aji benar-benar kering.


2. Cara Blonon (koyoh) , tidak ada bedanya dengan cara diatas hanya besi aji tidak dipijat dengan jari tangan tetapi dioles dengan sikat yang dicelupkan dalam larutan warangan, jika telah mendapat warna hitam segera dikeplok dengan abu gosok, diulang sampai pamor tampak menyala.


3. Cara Koloh , dengan memakai tempat lain besi aji yang telah diputihkan dimasukkan dalam larutan warangan jeruk nipis encer yang diberi cemengan. Setelah beberapa menit besi aji diambil ditaruh miring agar larutan tuntas. Setelah itu disikat dan dibilas dengan air seterusnya dikeplok. Hal ini diulang-ulang bilah tak usah dijemur. Keberhasilan cara ini terletak pada teknik mengeploknya. Warna hitam pada besi didapat secara berlahan tetapi lebih merasuk dalam besi daripada cara Yogyakarta.



XVI. PEMELIHARAAN


Tosan aji yang baik mewaranginya dapat bertahan bertahun-tahun. Kebiasaan kuno setiap selasa kliwon / jum'at kliwon besi aji diberi olesan minyak cendana encer. Menaruh keris sebaiknya jangan ditempat yang lembab jika terpaksa disimpan dalam almari pakaian taruh pada rak paling atas sebaiknya dalam posisi berdiri/miring. Minyak kelapa oleh proses fermentasi akan dipecah menjadi asam butiran dan asam lain, pencegahannya ialah dengan sedikit mencampurnya dengan minyak gandapura, perbandingannya : 100 cc minyak

kelapa dapat dipakai 10-15 cc minyak gandapura. Selain cendana dapat digunakan pewangi kanthil, melati (jasmin) / kenanga. Untuk Karaton Yogya perbandingan 1:1, artinya 100 cc minyak kelapa menggunakan 100 cc minyak cendana. Untuk cara Solo perbandingannnya 25 minyak krengsengan: 10 bagian minyak kenanga : 3 bagian minyak gandapura. Minyak senjata juga bisa dipakai tetapi banyak ahli esoteri keris mengatakan penggunaan minyak mineral akan sangat

mengurangi esoteri keris sendiri, jika tidak dalam keadaan terpaksa penggunaan minyak jenis ini dihindari. Jangan sekali-kali menjemur besi aji karena akan merubah struktur logamnya dan akan mengurangi daya kegaibannya. Penyikatan harus hati-hati terutama keris yang diserasah dengan emas. Jangan sekali-kali merendam tosan aji dalam air kelapa akibatnya dapat mengeroposkan besi aji.


XVII, SARAN DAN PETUNJUK TENTANG TATACARA MENAYUH KERIS


Ada 3 cara tahapan yang perlu dilakoni seseorang yang ingin berkomunikasi dengan yoni alias isi keris pusaka. Tapi tidak cukup hanya diomongkan lisan atau ditulis di atas kertas sebagai pengetahuan pasif. Rupanya memang selamanya orang omong lebih gampang ketimbang orang nglakoni. Dalam usaha memenuhi keingintahuan yoni keris pusaka itulah diperlukan laku orang bersangkutan dan menjadi langkah awal sebagai penghayatan kongkret untuk ditempuh.  Adapun 3 tahap tersebut sebagai berikut:


1. Menjalani puasa mutih. Orang tidak makan garam atau makanan yang mengandung garam, tapi hanya makan nasi putih dan minum air putih. Lamanya 3 hari 3 malam. Dapat juga orang puasa ngebleng, tak makan dan tak minum 3 hari 3 malam. Keris pusaka yang komplit sandangannya, memakai warangka-mendak-ukiran diletakkan di atas bantal. Si penayuh harus selalu berdoa kepada Tuhan. Dengan tatacara itu, mungkin

seseorang sudah dapat mengetahui yoni keris pusaka yang ditayuh, dia dapat berkomunikasi pada waktu sedang tidur atau sedang jaga, atau dalam keadaan sonyaruri (antara tidur dan jaga). Namun bila maksud semula belum kesampaian, dia dapat meneruskan usaha dengan menjalankan tahap kedua.


2. Keris yang hendak ditayuh, dihunus dari warangka, dikeluarkan dari sarungnya, mendak dan ukiran tidak dicopot. Keris pusaka dalam keadaan 'ligan' (telanjang) ditaruh di bawah bantal, dipakai alas tidur. Mungkin dengan tatacara ini, orang sudah dapat mengetahui yoni yang terdapat pada keris pusaka yang ditayuh. Akan tetapi, seandainya tahap kedua ini orang bersangkutan belum juga dapat bersua dengan si yoni, maka tahap ketiga perlu ditempuh.


3. Keris Ligan yang sudah dilepaskan dari warangka, perlu dilepaskan dari ukiran dan mendaknya. Keris itu dalam keadaan nglegena alias telanjang bulat. Dia ditaruh di bawah bantal sebagai alas tidur, yang juga dilakukan selama 3 malam. Melenging tekad tertuju kepada Tuhan, laku itu dijalani dengan sepenuh hati. Niat ingsun mengetahui yoni keris pusaka yang ditayuh.



XVIII, CARA MEMAKAI KERIS

Cara Memakai keris yang benar menurut cara Yogyakarta :


- Jika tengah gandar disebelah kiri tulang punggung disebut MANGKING kurang pantas dipakai.

- Jika Warangka menyentuh sabuk disebut NETEP kurang pantas dipakai karena dianggap berani dgn siapa saja.

- Dipakai oleh prajurit yang bersenjata pedang dan penari klana gagah gaya Yogyakarta.

- Kurang sopan dipakai karena dianggap akan mbalelo.

- Jika letak gandar keris di sebelah kanan tulang punggung disebut NGOGLENG juga kurang baik untuk dikenakan dianggap sombong oleh pemakai.

- Dipakai waktu bepergian atau oleh prajurit yang membawa bedil.

- Dipakai untuk bepergian dan para prajurit Dhaeng.

- Dipakai waktu naik kuda dan kendaraan.

- Biasa dipakai oleh para ulama, resi, pendeta...


Penggunaan Keris Semar Mesem

Untuk menggunakan Semar Mesem, pengguna harus melakukan berbagai langkah ritual.

Cara Menggunakan Keris Semar Mesem untuk Dagang

Pemilik keris semar mesem melalui ritual khusus, diyakini dapat dengan mudah memperoleh kesuksesan dalam berdagang. Dengan ajian atau jalan ghaib tertentu, barang yang dijajakannya bisa sangat laris dan keuntungan dapat dengan mudah ia dapatkan. Caranya yaitu dengan melakukan puasa pati geni. Agar lebih jelas, berikut ini tahapan lengkapnya:

Lakukan puasa pati geni di hari kamis dengan tidak tidur sehari semalam bertapa di dalam kamar yang gelap. Selama puasa, baca mantera berikut ini sesering mungkin dalam kegelapan sembari memandangi keris semar mesem yang Anda miliki. Berbuka puasa saat Jumat pagi ketika matahari terbit dengan terlebih dahulu minum air putih yang telah dicelupi ujung keris semar mesem. Setelah berpuasa, baca mantera yang sama sebanyak 3 kali dengan tahan napas dan tiupkan pada barang dagangan yang ingin Anda buat laris. Keris diletakan di bawah bantal setiap kali tidur di malam hari, sedangkan saat berdagang letakan keris ini di tempat Anda menyimpan uang dagangan.

Cara Menggunakan Keris Semar Mesem untuk Pelet

Seperti halnya buluh perindu, selain dapat digunakan sebagai penglaris dalam berdagang, keris semar mesem juga dapat digunakan untuk memikat lawan jenis (pelet). Seorang wanita yang tadinya sama sekali tidak menaruh perasaan terhadap Anda, bisa jadi akan cinta setengah mati setelah Anda menggunakan keris semar mesem yang dipadukan dengan ajian semar mesem. Seperti apa cara menggunakan keris semar mesem untuk pelet?Berikut caranya: Yakinkan diri Anda bahwa target yang menjadi sasaran akan benar-benar Anda ajak untuk serius membangun rumah tangga. Jangan buat main-main karena tentu kasihan jika nantinya target selalu bingung memikirkan Anda, sedang Anda tak peduli lagi dengannya. Siapkan 1 buah foto target dan nama lengkapnya beserta keris semar mesem yang Anda miliki. Saat melakukan ajian semar mesem, pastikan si target sedang tertidur. Selanjutnya, baca mantra atau ajian berikut ini sebanyak 3 kali sembari memandangi fotonya dengan sepenuh jiwa.

Niat ingsung amatek ajiku si semar mesem, Saktiku saktine jagad dunyo, aji pengasihan ora ono tombone. Ora ono wong bagus kejobo aku, ora biso turu yen durung ketemu aku. Yen ketemu turu tangekno, yen ketemu tangi ngadekno, lan yen ketemu ngadek lakokno. Dadi gendeng, bingung ora mari mari yen durung ketemu aku. Sido katut nurut tekuk lutut si jabang bayine (sebut nama target). Kun fayakun saking kersaning Allah. Lailahaillah Muhammad Rasulullah 

Setelah membaca mantra tersebut, seketika tahanlah nafas Anda, kemudian ucapkan dalam hati mantra selanjutnya :"Allah Allah Allah, kulo nedi ijabane kangge ngeneaken atine si (sebut nama target)” Kemudian keluarkan nafas seraya mengucapkan kata "ya". Usai melakukan ritual tersebut, usahakan keris semar mesem yang Anda miliki selalu Anda bawa dalam dompet dan saat tidur Anda selalu meletakannya di bawah bantal. Lakukan hal ini selama 3 hari berturut-terut hingga Anda mulai merasa si target mulai menunjukan perasaan yang berbeda terhadap Anda.

Keris Pusaka Pangeran Diponegoro

Berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintulu. Namun, Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada ramalan yang mengatakan barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta.

Babad Diponegoro juga memuat keterangan tentang keris yang digunakan Diponegoro dalam pertempuran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Keris itu memiliki bilah penusuk lurus karena disebut sebagai pedang.

Keris yang dibawa Diponegoro bahkan menemaninya ke liang lahad adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur Tanpa Senjata. Namun, dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul.

Diponegoro membawa keris itu ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan mencatat dalam jurnalnya: “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda.”

Menurut Carey meskipun Diponegoro menyebut keris itu pusaka keraton, namun berdasarkan babadnya, Kiai Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo.

Keris Kiai Sarutomo diberikan kepadanya ketika berziarah ke pantai selatan kira-kira musim kemarau tahun 1805.

Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa, Diponegoro memperoleh keris kecil itu (cundrik) dari Ratu Kidul ketika khalwat di Cepuri Parangkusumo.

Pada Januari 1831, sesaat setelah tiba di Belanda. Raden Saleh diminta oleh SRP van de Kasteele, Direktur Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik (Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden) di Den Haag, untuk mengidentifikasi sebuah keris Jawa.

Sebelumnya, Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, perwira perang Diponegoro yang menyeberang ke pihak Belanda, telah mengidentifikasi dan melengkapi dengan keterangan bahwa keris itu asli keris Pangeran Diponegoro. Namun, Kasteele menginginkan pendapat kedua dari Raden Saleh.

“Tak dapat dibayangkan, bagaimana perasaan Saleh muda saat memegang keris Diponegoro yang agung itu? Perasaan menggigil seperti apa yang mengalir dalam tubuhnya? Sebagian keluarganya berjuang di pihak Diponegoro dan untuk itu mereka harus banyak berkorban. Tiba-tiba, keris itu, pusaka itu, inti kekuatan magis Diponegoro berada dalam genggamannya,” tulis Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya.

Raden Saleh membuat penilaian singkat mengenai keris Pangeran Diponegoro yang bernama Kiai Nogo Siluman itu : "Kiai berarti tuan. Semua yang dimiliki seorang raja memakai nama ini. Nogo adalah ular dalam dongeng dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siluman adalah sebuah nama yang terkait dengan bakat-bakat luar biasa, semacam kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Oleh karena itu, nama keris Kiai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah"

Dalam biografi Pangeran Diponegoro, sejarawan Peter Carey mencatat Diponegoro dalam perjalanan berkelananya pada 1805 menginap satu malam di Gua Siluman di Pantai Selatan.

Gua Siluman disebut dalam Kidung Lelembut (Nyanyian Arwah) sebagai istana arwah di bawah kekuasaan dewi pantai selatan, Ratu Kidul, yang diperintah melalui wakilnya, Putri Genowati.

Perdana Menteri Belanda melakukan lawatan untuk membicarakan kerja sama dengan Indonesia. Saat pertemuan itu, Perdana Menteri Belanda itu memberi sebilah keris kepada Presiden Jokowi. Keris itu adalah simbol dikembalikannya sekitar 1.500 artefak asli Indonesia yang banyak disimpan di Museum Delft yang pada 2013 lalu mengalami kebangkrutan.

Selain artefak yang dikembalikan ini, peninggalan-peninggalan asli Indonesia masih banyak disimpan di Belanda. Ada arca yang berasal dari candi-candi masa lalu, wayang kuno, mahkota raja, dan pusaka yang tidak ternilai harganya. Salah satu pusaka yang kemungkinan besar masih ada di Belanda dan keberadaannya masih menjadi misteri adalah keris milik Pangeran Diponegoro bernama Kyai Nogo Siluman.

Prabu Siliwangi


Sri Baduga Maharaja

( Prabu Siliwangi/Raden Pemanah Rasa )

Lahir : Kawali, Ciamis, Jawa Barat 1401 M

Gelar : Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.

Raja Sunda ke - 35 : 3 Juni 1482 - 

Orang Tua : ♂ Rakryan Ningratkancana / Prabu Dewa Niskala / Raja Sunda, ♀ Nay Ratna Mayangsari / Ratu Banawati.

Saudara : ♀ Dewi Retna Pamekas / Ratu Ayu Kirana, ♂ Raden Kusumalaya Ajar Kutamangu / Raden Palinggih.

Istri : Nyai Subanglarang / Dewi Kumalawangi (Puteri Subang Keranjang), ♀ Kentringmanik Mayang Sunda ? (Nyimas Padmawati), ♀ Ratu Anten, ♀  Ratu Ratnasih / Nyi Rajamatri (Ratu Istri Rajamantri), ♀ Nyai Ambetkasih,  ♀ Nyai Aciputih.

Anak : ♂ Prabu Kian Santang / Raja Sangara, ♀Nyai Rara Santang / Hajjah Syarifah Mudaim, ♂  Walangsungsang / / Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana), ♂ Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam), ♂ Dalem Manggu Larang, ♂ Munding Sari / Ratu Bancana, ♂Munding Laya Dikusumah (Munding Sari Ageung / Munding II / Prabu Munding Suria Ageung / Prabu Munding Wangi), ♂  R. Sake Alias Prabu Wastu Dewata, ♀  R. Ne-Eukeun,♂Munding Keleupeung / Munding Kelemu Wilamantri , ♂ Prabu Liman Sanjaya, ♂Jaka Puspa Alias Guru Gantangan, ♀ Dewi Surawati, ♂ Balik Layaran / Sunan Kebo Warna, ♂ Sultan Surosoan, ♂Banyak Ngampar (Silihwarni) / Arya Gagak Ngampar, ♂Prabu Layakusumah, ♀ Nyai Lara Badaya, ♂ Rd. Ceumeut / Raden Meumeut (Raden Ameut), ♂Raden Tenga, ♂ Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka, ♀ Ratna Ayu Kirana.

Wafat : Pakuan Pajajaran, 31 Desember 1521 M

Makam : Desa Pajajar, Kecamatan Rajagaluh, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.

Keterangan : 

Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Sunda: ᮞᮢᮤ ᮘᮓᮥᮌ ᮙᮠᮛᮏ atau ᮕᮢᮘᮥ ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ) (Ratu Jayadewata) (1401-1521) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran di Bogor mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.

Prabu Siliwangi

Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:

"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".

Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Arti nama Siliwangi Sunting

Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja) :

"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.

Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Biografi Sunting

Leluhur Sunting

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Niskala Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Prabu Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Niskala Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu Niskala Wastu Kancana.

Masa muda dan Silsilah Sunting

Waktu mudanya Sri Baduga atau Prabu Jayadewata terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, Nyi Ambetkasih putri pamannya, Ki Gedeng Sindangkasih putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Kerajaan Surantaka ibu kotanya Desa Kedaton sekarang di Kecamatan Kapetakan Cirebon, penguasa di Pelabuhan Muarajati Cirebon berbatasan langsung dengan Kerajaan Sing Apura. Saat Wafat digantikan menantunya, Prabu Jayadewata. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.

Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama Keukeumbingan Rajasunu yang pernah mengalahkan Ratu Kerajaan Japura Prabu Amuk Murugul putra Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana waktu bersaing memperebutkan Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa Kerajaan Sing Apura putra Ki Gedeng Kasmaya, Penguasa Cirebon Girang putra Prabu Bunisora (Adik Mahaprabu Niskala Wastu Kancana), (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam) dari Kerajaan Sing Apura berbatasan dengan Kerajaan Surantaka. Dari pernikahannya dengan Permaisuri Subanglarang melahirkan Raden Walangsungsang atau Cakrabuwana, Nyimas Rara Santang dan Raden Kian Santang. Kemudian Nyimas Pakungwati putri Pangeran Walangsungsang menikah dengan Sunan Gunung Jati putra Nyimas Rara Santang. Pangeran Walangsungsang sebagai Sultan Cirebon I dan Sunan Gunung Jati sebagai Sultan Cirebon II dalam Kesultanan Cirebon sejak tahun 1430 M.[1].[2]

Setelah terbuka jati diri Sang Prabu Jayadewata masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah Prabu Amuk Murugul, yaitu Prabu Susuktunggal kakak lain Ibu Prabu Dewa Niskala ayahnya Prabu Jayadewata, di Kerajaan Sunda Bogor sekarang dan dijodohkan dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuktunggal, yang nanti melahirkan Prabu Sanghyang Surawisesa kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran dan Sang Surasowan jadi Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang. Sang Surasowan berputra Adipati Arya Surajaya dan putri Nyai Kawung Anten. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati dan melahirkan Pangeran Sabakingkin alias Maulana Hasanuddin, pendiri Kesultanan Banten tahun 1552 M.

Prabu Siliwangi juga menikahi Ratu Istri Rajamantri putri Prabu Gajah Agung putra Prabu Tajimalela atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan Kerajaan Sumedang larang tahun 900 M. Nama kerajaannya berubah-ubah, Kerajaan Tembong Agung saat Prabu Aji Putih, zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.[3]Ratu Pucuk Umun Sumedang keturunan Prabu Gajah Agung menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau Pangeran Santri putra Pangeran Pamelekaran atau Pangeran Muhammad, sahabat Sunan Gunung Jati. Ibu Pangeran Santri Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir Prabu Geusan Ulun yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya Pakuan Pajajaran tahun 1579 M, menerima mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) dari senapati Pajajaran sebagai tanda bahwa Kerajaan Sumedang Larang penerus sah Kerajaan Pajajaran.

Kebijakan dalam kehidupan sosial Sunting

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa.

Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".

Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.[1]Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya Sunting

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan Sunting

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".

(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2. Sunting

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:

Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).

Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.

Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.

Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).

Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya—Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

Kultus Prabu Siliwangi Sunting

Sunda Wiwitan Sunting

Dalam kepercayaan tradisional Sunda Wiwitan, tokoh Prabu Siliwangi dihormati sebagai gambaran pemimpin ideal masyarakat Sunda. Ia dihormati dan diakui sebagai karuhun atau leluhur para menak atau bangsawan Sunda.

Hindu Dharma Sunting

Dalam kompleks Pura Parahyangan Agung Jagatkarta, di lereng utara Gunung Salak, terdapat sebuah candi yang dibangun untuk memuliakan tokoh Sunda, Prabu Siliwangi. Pura ini terletak di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Konghucu Sunting

Prabu Siliwangi dipuja dan memiliki altar tersendiri pada Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Simpenan, Sukabumi.[4]

Uga Wangsit Siliwangi Sunting

Prabu Siliwangi memberikan petuah kepada keturunannya dalam bentuk wangsit yang disebut Uga Wangsit Siliwangi

#Sejarah

Mengenal Senjata Kujang

 

Tanggal 17 Sep 2008 oleh Budaya Indonesia. Revisi 10 oleh Usman pada 16 Jul 2012.
Dalam Wacana dan Khasanah Kebudayaan Nusantara, Kujang diakui sebagai senjata tradisional masyarakat Masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan Kujang dikenal sebagai senjata yang memiliki nilai sakral serta mempunyai kekuatan magis. 

Beberapa peneliti menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi dan Hyang.
Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala, misalnya untuk menghalau musuh atau menghindari bahaya/penyakit. Senjata ini juga disimpan sebagai pusaka, yang digunakan untuk melindungi rumah dari bahaya dengan meletakkannya di dalam sebuah peti atau tempat tertentu di dalam rumah atau dengan meletakkannya di atas tempat tidur (Hazeu, 1904 : 405-406)
Sedangkan Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan di atas Dewa.
Secara umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa (=Hyang), dan sebagai sebuah senjata, sejak dahulu hingga saat ini Kujang menempati satu posisi yang sangat khusus di kalangan masyarakat Jawa Barat (Sunda).
Sebagai lambang atau simbol dengan niali-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, Kujang dipakai sebagai salah satu estetika dalam beberapa lambang organisasi serta pemerintahan. Disamping itu, Kujang pun dipakai pula sebagai sebuah nama dari berbagai organisasi, kesatuan dan tentunya dipakai pula oleh Pemda Propinsi Jawa Barat.

Di masa lalu Kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda karena fungsinya sebagai peralatan pertanian. Pernyataan ini tertera dalam naskah kuno Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang di beberapa daerah diantaranya di daerah Rancah, Ciamis. Bukti yang memperkuat pernyataan bahwa kujang sebagai peralatan berladang masih dapat kita saksikan hingga saat ini pada masyarakat Baduy, Banten dan Pancer Pangawinan di Sukabumi.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial dan ekonomi masyarakat Sunda, Kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang bernilai simbolik dan sakral. Wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Bagian-Bagian Kujang
Karakteristik sebuah kujang memiliki sisi tajaman dan nama bagian, antara lain : papatuk/congo (ujung kujang yang menyerupai panah), eluk/silih (lekukan pada bagian punggung), tadah (lengkungan menonjol pada bagian perut) dan mata (lubang kecil yang ditutupi logam emas dan perak). Selain bentuk karakteristik bahan kujang sangat unik cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori dan banyak mengandung unsur logam alam.
Dalam Pantun Bogor sebagaimana dituturkan oleh Anis Djatisunda (996-2000), kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk. Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain :

1. Kujang Pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan)
2. Kujang Pakarang (untuk berperang)
3. Kujang Pangarak (sebagai alat upacara)
4. Kujang Pamangkas (sebagai alat berladang)

Sedangkan berdasarkan bentuk bilah :

1. Kujang Jago (menyerupai bentuk ayam jantan)
2. Kujang Ciung (menyerupai burung ciung)
3. Kujang Kuntul (menyerupai burung kuntul/bango)
4. Kujang Badak (menyerupai badak)
5. Kujang Naga (menyerupai binatang mitologi naga)
6. Kujang Bangkong (menyerupai katak)

Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan tokoh wanita sebagai simbol kesuburan.

Nambihan Saur Sepuh...
Menurut orang tua ada yang memberikan falsafah yang sangat luhur terhadap Kujang sebagai "Ku-Jang-ji rek neruskeun padamelan sepuh karuhun urang". Janji untuk meneruskan perjuangan sepuh karuhun urang/nenek moyang yaitu menegakan cara-ciri manusa dan cara ciri bangsa. Apa itu?

Cara-ciri Manusia ada 5
1. Welas Asih (Cinta Kasih)
2. Tatakrama (Etika Berprilaku)
3. Undak Usuk (Etika Berbahasa)
4. Budi Daya Budi Basa
5. Wiwaha Yuda Na Raga (Ngaji Badan)

Cara-ciri Bangsa ada 5
1. Rupa
2. Basa
3. Adat
4. Aksara
5. Kebudayaan
Sebetulnya masih banyak falsafah yang tersirat dari Kujang yang bukan sekedar senjata untuk menaklukan musuh pada saat perang ataupun hanya sekedar digunakan sebagai alat bantu lainnya. Kujang bisa juga dijadikan sebagai senjata dalam setiap pribadi manusia untuk memerangi prilaku-prilaku diluar kemanusaiaan. Memang sungguh gaib sakti(falsafah) Kujang.

Kenapa setiap kujang mempunyai jumlah bolong/mata yang berbeda-beda?
Umumnya ada yang 3, 5 (kombinasi 2 dn 3), 9. Itu pun mengandung nilai falsafah yang sangat tinggi dengan istilah Madep/Ngiblat ka Ratu Raja 3-2-4-5-Lilima-6. Itu semua kaya akan makna yang dapat membuka mata kita tentang siapa aku? dari mana asalnya aku? untuk apa aku hidup? dan menuju kemana aku?

Jenis dan Macam Kujang
Tidak hanya seperti yang kita kenal sekarang, berbentuk ramping pipih dengan lubang empat atau lima. Banyak jenis-jenis kujang yang sudah tidak atau susah ditemukan lagi. berikut beberapa jenis kujang yang pernah ada saat jaman padjadjaran masih berdiri :

Nama kujang berdasarkan bentuk dan ukurannya:
1. Kujang Gagab bentuknya lebar dan harus di soren atau di ikatkan dipinggang
2. Kujang Bangking, bentuknya ramping seperti yang kita kenal
3. Kujang Pangarek, karena besarnya bawanyapun harus dipikul
4. Kujang Pamangkas, bentuknya panjang hingga cara bawanyapun harus di tenteng.

Jenis-jenis Kujang berdasarkan bentuk dan rupanya:
1. Kujang Ciung
2. Kujang Jago
3. Kujang Kuntul
4. Kujang Bangkong
5. Kujang Naga
6. Kujang Badak
Kujang Pekarangan, bentuknya agak lurus biasa digunakan untuk alat pertanian.

Kujang berdasarkan mata atau lubang dan artinya :
Mandala Agung, bermata sembilan biasanya pemegangnya adalah Raja Brahmesta dan Pandita Agung
Mandala Sama, bermata delapan
Mandala Jati, bermata tujuh biasanya pemegangnya Prabu Anom, Mantri dangka dan Pandita
Mandala Suda, bermata enam
Mandala Seba, bermata lima biasanya pemegangnya seorang bupati, geurang serat, geurang puun
Mandala Rasa biasa disebut wesi kuning, bermata empat pemegangnya para putri menak keraton.
Mandala Karma, bermata tiga pemegangnya para puun.
Mandala Permana, bermata dua.
Mandala Kasungka, bermata satu pemegangnya para guru tangtu agama.
Mata Kujang melambangkan mandala atau dunia atau alam yang akan dilalui manusia, yaitu mandala kasungka, mandala permana, mandala karama, mandala rasa, mandala seba, mandala suda, mandala jati, mandala sama dan mandala agung.

Dilihat dari strukturnya Kujang dibagi dua bagian:

Jatidiri Kujang

Jatinagara Kujang

Berdasarkan lubang atau matanya kujangpun dapat diartikan :

lubang 1 disebut ngaherang

lubang 2 disebut lumenggang

lubang 3 disebut gumulung

lubang 4 disebut gumelar

lubang 5 disebut mangrupa

lubang 6 disebut usik

lubang 7 disebut malik

lubang 8 disebut ngajadi

lubang 9 disebut medal

lubang 10 atau kembali ke 0 disebut nunggal, suwung


Semoga bermanfaat.

Keris Naga Runting


KERIS NAGA RUNTING PRABU SILIWANGI.

Keris Nogo Runting mirip dengan Keris Sajen: gagang  atau peksinya memilik motif. Bila peksi Keris Sajen bermotif putut atau pendeta, peksi Keris Nogo Runting bermotif raja yang mengenakan mahkota dan berjanggut panjang sebagai simbol kewibawaan dan kekuasaan seorang raja.

Filosofi keris Naga Runting adalah Pusaka yang menjadi simbul kekuasaan dan kemulyaan. Sebagai ageman kesaktian, kewibawaan, pagar gaib dan menolak bencana atau malapetaka.

Sebagai pusaka raja, apalagi Prabu Siliwangi yang dikenal sakti mandraguna, keris ini tentu tidak dibuat dan oleh empu sembarangan. Dari sisi material menggunakan  paku bumi yang diperoleh  Prabu Siliwangi saat tapa brata di kaki bukit Gunung Salak.

Adapun yang membabar adalah empu kondang Pajajaran, yakni Mpu Welang dan Mpu Anjani.

Demi memenuhi harapan sang Prabu, mereka melakukan puasa selama 40 hari 40 malam untuk memohon kepada Sang Pencipta agar yang dibuat menjadi sebilah keris yang ampuh dan memiliki karomah yang luar biasa.

Keris Nogo Runting disebut Naga Runting Ngemut Emas karena di dalamnya terdapat mata logam emas pada Lidah Naga -maskot pada keris tersebut.

Keris Pusaka Naga Runting konon dulu menjadi senjata pamungkas Prabu Siliwangi ketika akan menghadapi musuh-musuhnya.

Bentuk keris Naga Runting sangat terlihat indah dan menawan, namun dibalik itu semua menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat.

Kemampuan dan kekuatan keris Naga Runting Prabu Siliwangi ini mampu menyamarkan petir, angin, bahkan api, ketika dikehendaki.

Selain itu pula keris Naga Runting ini mampu berubah wujud menjadi seekor naga yang bentuknya bisa menyesuaikan dengan objek yang dituju.

Ketika Sang Naga melilit di tubuh satu orang bahkan ratusan orang ia akan mampu melakukannya bahkan untuk melilit sebuah gunung pun mampu dilakukan oleh keris Naga Runting.

Prabu Siliwangi Namun demikian tak banyak orang tahu tentang asal-usul keris Naga Runting yang diyakini sebagai salah satu pusaka Prabu Siliwangi ini.

Siliwangi ternyata bukan nama individu raja, tapi istilah sama halnya penyebutan nama Raja Brawijaya.

Ia merupakan gabungan dari kata Silih dan Wawangi, yang diartikan pengganti Prabu Wangi atau  Linggabuana yang gugur di Bubat kala mengantar pernikahan putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk.

Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 menuturkan: "Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain," paparnya.

Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung.

Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain.

Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda.

Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.

"Kebanyakan meyakini sebutan Siliwangi tersebut menisbat pada Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Jawadewata (1401-1521). Cucu Lingga Buana sekaligus Bunisora yang terlahir di Kawali, Ciamis  pada 1401 M ini disebut Prasasti Batu Tulis dinobatkan dua kali," jelasnya.

Selain itu, Ayat juga menepis anggapan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah raja Sunda terakhir.

Mengacu pada Naskah  Wangsakerta dan Carita Parahiyangan yang menyebut Siliwangi ada delapan orang, dengan raja terakhir Surya Kencana.

Secara tidak langsung Ayat meyakini bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itulah Prabu Siliwangi sejati nan agung.

Kembali ke munculnya Keris Runting, baik versi umum maupun versi Ayatrohaedi tidak akan singkron bila periodesasi pembabaran benar dilakukan Mpu Welang dan Mpu Anjani seperti diceritakan.

Karena kedua empu tersebut hidup di periode tangguh Madya Kuno, antara tahun  1126-1250 M. "Di Tanah Jawa, tahun tersebut merupakan era kerajaan Kediri dan Singosari. Sedangkan penasbihan nama Siliwangi sebagai pengganti Prabu Wangi atau Linggabuana adalah di era pasca-Hayam Wuruk di Majapahit," jelasnya.  

Sebaliknya bila benar yang membabar Keris Nogo Runting adalah Mpu Welang dan Mpu Anjani, maka raja Sunda-Galuh yang saat itu berkuasa adalah Rakryan Jayagiri (1154-1156 M),  diteruskan cucunya  Prabhu Dharmakusuma (1156-1175 M) dan  kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297 M).

Kemungkinan terakhir ini bisa dipahami  karena di periode itulah masa kejayaan tosan aji di Tatar Sunda  dengan lahirnya empu-empu terkemuka  yang kemudian pengaruhnya menyebar hingga ke Jawa dan Sumatera. Selain Mpu Welang dan Anjani, empu lain yang muncul di era tersebut adalah Mpu Srikanekaputra,  Cindeamoh, Handayasangkala, Dewayani Marcukunda, Gobang, Kuwung, Bayu Aji, Darmajati, dan Sombro.  

"Kesalahaan persepsi bahwa Keris Naga Runting adalah dibuat atas pesananan Siliwangi karena penyebutan nama-nama raja-raja di Sunda maupun Galuh sudah sangat umum disebut Siliwangi," lanjutnya.

"Bila kemudian Keris Naga Runting menjadi ageman raja-raja Sunda maupun Galuh, termasuk di era Silwangi, secara turun-temurun, merupakan penjelasan masuk akal," pungkasnya.

Kisah Pangeran Cakrabuwana Cirebon Girang

Cirebon merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini masyarakat masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang pertama kali membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir sekitar 1423 masehi).  Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang itu sendiri. Mbah Kuwu Sangkan terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, beserta Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang. Sebagai Putra Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu Siliwangi. Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta Cirebon di bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah Kuwu merupakan raja pertama.

Perjuangan Mbah Kuwu membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang kala itu masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai puncaknya saat ia menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya.

Selain Panglima Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami. Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana.

Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga tahun 1479 Masehi. Mbah Kuwu juga memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi.

Asal Usul Nama Banten


Siapa yang sudah tahu artinya Banten?

Sepertinya tidak semua masyarakat Provinsi Banten mengetahui bahwa Banten memiliki beberapa arti yang dipercaya berdasarkan sejarah dari beberapa versi yang ada. 
Banten merupakan sebuah Provinsi yang berada di paling barat Pulau Jawa. Awalnya, Banten masuk ke bagian Provinsi Jawa Barat, namun Banten memisahkan diri menjadi Provinsi yang dimekarkan dari Jawa Barat. Pemekaran ini berdasarkan undang-undang Nomor 23 Tahun 2000, di mana Hj Ratu Atut Chosiah merupakan Gubernur pertama Banten, sekaligus Gubernur pertama di Indonesia. 
Sekarang Banten telah menjadi Provinsi yang istimewa, masyarakatnya merupakan Suku Sunda Banten yang berada di Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Cilegon, dan juga Tangerang. 

Asal-usul nama "Banten" sendiri terdiri dari beberapa versi, berdasarkan yang tertulis di dpmptsp.bantenprov.go.id, sebagaimana yang tercantum di buku Toponimi Disbupar Banten 2014, tulisan Juliadi dan Neli Wachyudi. Menurut Tb. H. Achmad dalam buku pakem Banten terbitan Drukkerih tahun 1935, nama Banten berasal dari kata dalam bahasa Jawa, yaitu "Katiban Inten" yang artinya kejatuhan intan. Makna Katiban Inten ini merujuk pada sejarah masyakarat Banten, dahulunya merupakan penyembah berhala dan menganut agama Hindu. Lalu kemudian Islam datang dengan berbagai ilmu agama fiqih, ushuluddin, dan ilmu umum. Kehadiran Islam inilah yang membuat nama ketiban intan menjadi Banten. Lalu, pada versi yang kedua, Banten juga diambil dari kata "Bantahan". Pada versi ketiga juga Banten berasal dari nama kerajaan Hindu/Buddha "Kerajaan Banten Girang" yang berdiri sebelum adanya Kesultanan Banten. Menurut kebudayaan masyarakat Hindu, makna Banten secara etimologi adalah Sasajen/Sesajian untuk memenuhi kebutuhan spiritual/ibadah umat Hindu. 

Seperti yang kita ketahui, Banten merupakan Provinsi Islam yang dulunya adalah Kesultanan Banten yang di pimpin oleh Sultan Maulana Hasanuddin Banten anak dari Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon). Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati merupakan salah satu dari 9 walisongo (wali Allah) yang menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa. Banten juga dulunya penyembah berhala, sebelum Sunan Gunung Jati menjadikan kesultanan, namun berkat kegigihannya, Islam akhirnya di akui oleh masyarakat Banten pada masa itu.

Nah, sekarang masyarakat Banten tahu nih bahwa Banten merupakan singkatan dari beberapa kalimat yang memiliki makna berbeda.

Oleh : Nurdin Sikalem

Asal usul nama Slipi dan Pencak Silat


Sebagai seorang yg terlahir di kampung  Slipi, DKI Jakarta, Sejak Remaja menggeluti seni beladiri dan tenaga dalam dari Guru ke Guru lainnya. Silsilah dari garis Ibu - Fatmah binti KH Muhammad Nur Syafii bin H Sariun bin H Ja'man asal Slipi. Dan dari garis Bapak - H Abdul Haris bin Abdurrahman bin Adam asal Kemanggisan ilir.

Secara geografis Slipi zaman dulu, wilayahnya adalah Kotabambu selatan, Jati pinggir gang Kiapang, Slipi petamburan,  Slipi bludik, bundaran slipi, Slipi hankam, Slipi anggrek, Slipi lapangan Romsol sampai Taman anggrek dulu.
Slipi masuk wilayah Kecamatan Slipi Petamburan yg sekarang Kecamatan Palmerah. Asal usul kampung Slipi sendiri dari Kata Salafi. Menurut Cing Abd Fatah, karena orang Betawi demen dgn kata-kata yg singkat, biar gak lama ngomongnya, akhirnya Salafi berubah Slipi. Banyak kata lain yg berubah contohnya kata dari Batavia menjadi Betawi, juga dari nasi Wudhu menjadi nasi uduk.

Secara sederhana, salafi adalah golongan orang yang menganut manhaj salaf atau Ahlussunnah wal Jamaah. Prinsip yang dipegang oleh kaum salafi adalah sumber rujukannya memahami akidah dalam manhaj salaf yang terdiri dari Al-Qur'an, Hadis, dan Ijma salaful salih atau Ulama Salaf. Oleh karena itu zaman dulu bagi yang Keturunan Arab yg tinggal di Slipi, penduduk wilayah lain menyebutnya daerah Orang Salafi. Kampung Slipi masyarakatnya juga Religius, Toleransi dan Aman. Diantara Tokoh Betawi yg lahir di slipi adalah  Habib Ali bin Sahil bin Abdul Qodir, KH Muhammad Nur Syafei(Kong Guru Kecil), diteruskan KH Solihun, dan Ust Ahmad Syafei.  Ust Abd Fatah. Kata ane dan ente yg menjadi ciri khas ucapan oramg Slipi menjadikan akhlak yg baik.

Sejarah istilah maen pukulan lahir sebagai bentuk perlawanan masyarakat Tanah Betawi terhadap penindasan yang dilakukan kolonial Belanda di masa penjajahan. Meski begitu, masyarakat Betawi menggunakan maen pukulan bukan untuk menyerang melainkan untuk membela diri. Sama seperti yang diajarkan oleh para guru maen pukulan zaman dulu, bahwa Orang Betawi selain harus memiliki keterampilan bela diri, juga harus menguasai ilmu agama agar keduanya seimbang.

Tanah Betawi khususnya Kampung Slipi mengartikan maen pukulan sebagai permainan yang melibatkan kontak fisik serangan membela diri dengan atau tanpa senjata. Oleh karena itu muncullah istilah pukulan karena memang lebih banyak menggunakan tangan. Rahasianya adalah lebih maen pukulan jarak pendek atau dekat dgn lawan. Mengutamakan kecepatan dan refleks. Meski begitu seiring perkembangan zaman, tendangan juga mendominasi namun hanya sebatas pusar ke bawah.
Penulis sejak usia 10 tahun sudah mulai mempelajari aliran maen pukulan Betawi yaitu aliran yang memang masih orisinil pada Zamannya.
Guru - guru penulis yang terkenal pada zamannya diantaranya aliran Petojo dari Kong Sanusi Slipi, Gerak Rasa dari Bang pi'i Slipi, Cingkrik dari Cing Didi Kemanggisan, Pukulan Sabeni Tenabang dari Bang H Yunus Slipi kotabambu, dapat juga dari Kong Ceot Kemanggisan, Aliran Ki Ontong dari Cing Mamat Kemanggisan, pukulan Pancer dari Bang Supri Slipi.(Alfatihah untuk Jasa beliau semua).
Masing-masing aliran para guru silat ini memiliki jurus yang berbeda. Penulis pada waktu thn 83, bersama para pesilat di undang Ketua IPSI Bpk Edi Nalapraya, yang sering mengadakan pertemuan dengan para pesilat Betawi di gelanggang Grogol Walikota Jakarta barat. Diantara para undangan Guru sepuh seperti kong Ceot dari Kemanggisan Ilir, turun menampilkan atraksi seni maen pukulannya di atas panggung.

Inti aliran maen pukulan Betawi didasarkan atas karakter dan bentuk maen pukulan yang berseni indah, yang bisa dibuat sebagai seni silat panggung yang akhirnya melahirkan Silat Palang Pintu, yang merupakan tradisi yang menjadi bagian dari upacara pernikahan masyarakat Betawi. Palang pintu adalah Penggabungan seni beladiri dengan seni sastra pantun agama.