Pagelaran Wayang Kulit Ki Margono
Pranoto Mongso Jangkep
Melangkah Maju
Rasa itu seperti musim yang datang silih berganti, Anda harus siap penuh dengan kesadaran dan jiwa besar untuk meninggalkan dan melepaskan segala sesuatu yang merintangi kemajuan hidupmu, walaupun Anda sudah di sakiti bahkan diluar batas. Dan mungkin Anda terasa sakit, pahit dan sadis dari tindakan itu.
Melepaslah dengan penuh keikhlasan dan bijak, dengan jiwa besar, tanpa perekaman, tanpa goresan, tanpa guncangan, tanpa luka dan tanpa duka. Seperti terjun bebas dari pesawat tanpa berpegangan apapun, jika Anda mampu menikmatinya, itu adalah pengalaman yang luar biasa, sangat indah dan membahagiakan.
Hidup adalah evolusi pembebasan diri melalui berkehidupan untuk penyatuan diri kembali, pelepasan dari segala keterikatan dan kemelekatan
Keikhlasan itu kemampuan untuk melepaskan sesuatu, Melepaskan itu pembebasan, Pembebasan adalah proses menuju keterbebasan, keterbebasan itu bukan kebebasan, tapi keterbebasan itu adalah penyatuan diri dengan-Nya, Dia adalah sumber kebahagian sejati.
Kelahiran di bumi adalah sebuah proses mengerti dengan kewajiban-kebenaran, Bisa menggunakan sarana dengan benar, Ada niat maju untuk meningkatkan derajat diri dan Ada niat untuk mencapai tujuan akhir.
#Suroloyo#Konsep Spritual#
Orang yang membawa Keberuntungan
Orang baik pasti akan mendapat balasan yang baik. Orang jahat pasti akan mendapat balasan yang buruk. Bukan tidak dibalas hanya waktu nya saja belum tiba.
Setiap orang yang kamu sakiti di dunia ini, sebenarnya pada akhirnya yang kamu sakiti adalah dirimu sendiri
Setiap orang yang engkau bantu di dunia ini. Sebenarnya bukan sedang kamu bantu, tetapi kamu sedang membantu dirimu sendiri
Ketika kamu berbuat baik kepada orang lain, mungkin orang lain belum tentu menjadi baik tetapi kamu pasti akan menjadi semakin baik
Kalau kamu setiap hari berpikir ingin mencelakai orang lain, apakah kamu berhasil mencelakai mereka atau tidak... belum tentu ! Tetapi yang pasti pada akhirnya kamu sendirilah yang akan celaka.
Jika kamu berniat untuk memperdaya orang lain, pada akhirnya kamu pasti akan diperdaya oleh orang lain.Tetapi jika kamu ingin membantu orang lain untuk berhasil, pada akhirnya kamu juga akan dibantu untuk berhasil
Ingatlah....
Di dunia ini jika kamu ingin hidupmu menjadi lebih baik, caranya sangat sederhana. Buatlah hidup orang lain menjadi lebih baik. Seberapa banyak kamu bisa membuat hidup orang lain lebih baik, Sebesar itu juga hidupmu akan menjadi lebih baik. Maka saya ingin menyampaikan kepada kamu semua hari ini. Perbanyaklah berbuat baik, tinggalkanlah kebajikan dan pahala untuk anak keturunan kita (surat An-Nisa 40)
Ada pepatah Kuno yang mengatakan, orang yang membawa keberuntungan akan dilindungi oleh Alam Semesta. Jika kamu adalah orang yang beruntung Alam Semesta akan membantu kamu. Lalu siapakah orang yang membawa keberuntungan itu? Orang yang membawa keberuntungan adalah orang yang baik hati - Orang yang tahu berterima kasih - Orang yang suka memberi - Orang yang berjiwa besar
Dan orang yang membawa KEBERUNTUNGAN.... adalah kamu
Suluk Dewa Ruci
Khazanah kepustakaan Jawa kaya dengan karangan-karangan tentang filsafat mistik yang lazim disebut suluk. Pada umumnya suluk disampaikan melalui kisah perumpamaan atau alegori, dan ditulis dalam bentuk puisi atau tembang macapat gaya Mataram, tetapi tidak jarang ditulis dalam bentuk gancaran atau prosa. Sebagai alegori, suluk-suluk itu kaya dengan ungkapan-ungkapan simbolik dan simbol atau image-image simbolik. Karena itu untuk memahaminya diperlukan metode penafsiran atau pemahaman yang sesuai.
Kisah Dewa Ruci adalah salah satu suluk yang populer di Jawa dan sering dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri. Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya.
Kisah Dewa Ruci sarat dengan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia. Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan (tirta pawitra) yang akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup.
Perjalanan Bima mengalahkan para Raksasa untuk menemukan air pawitra, mengalahkan Naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan.
Kisah Bima mencari tirta pawitra (air kehidupan) dalam lakon wayang cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batinnya sendiri guna menemukan identitas diri sejatinya. Pencarian sangkan paraning dumadi : asal dan tujuan hidup manusia Darimana asalku ? Untuk apa di dunia ini ? Kemana tujuanku ini ? Pertanyaan itu harus dijawab sendiri oleh manusia, oleh karenanya Bima melakukan perjalanan guna mendapatkan jawabannya.
Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima disebutkan melalui empat tahap, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa, dalam bahasa keislaman di kenal dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Beberapa guru spiritual di Jawa menambahkan dengan mahabbah atau cinta kasih pada hasil akhir dari 4 tahap proses pencarian tersebut.
Kemudian diriwayatkan Bima bertemu dengan Dewa Ruci, sosok Dewa yang mirip dengan dirinya namun hanya sebesar Ibu Jari. Sang Dewaruci (ruh suci) memerintahkan Bima agar masuk kedalam diri-Nya melalui lubang telinganNya sebelah Kanan.
Tanpa banyak tanya, Bima pun langsung mematuhi perintah sang guru tersebut ia memasuki tubuh sang dewa melalui telinga KananNya. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu: Hitam, Merah, Kuning dan Putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci, "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam Hatimu, yang memimpin dirimu".
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “Saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (Sedulur Papat). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman(Pancer), membuat cahayanya membentuk warna “Pelangi”.
Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk tinggal di hati , Di pusat hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Setelah warna yang empat lenyap, lantas muncul: Cahaya Tunggal 8 (Delapan) warna. Bima bertanya: “Apakah cahaya delapan warna ini merupakan hakekat sejati?
Tampak seolah permata gemerlapan kadang seperti bayangan, mempesona kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud”.
Dewa Ruci menjawab: “Inilah intipati kesatuan/Artinya segala hal yang ada di alam dunia ada pula dalam dirimu. Pun semua yang ada di alam dunia/Memiliki padanan dalam dirimu/Antara jagad besar/Dan jagad kecil tidak berbeda.
Seperti warna yang empat/Kepada dunia memberi hayat/ Jagad besar dan jagad kecil/ Setiap yang ada sama dalam keduanya/Jika rupa di alam dunia/Ini lenyap seisinya/Maka semua wujud akan tiada/Dan menyatu dalam wujud tunggal/Tiada lelaki atau wanita".
Bima bertanya kepada Dewa Ruci, apakah yang tampak itu merupakan dhat hakiki yang dicarinya selama ini? Dewa Ruci menjawab, bukan itu yang harus dicari. “Sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tampak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigi panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat di sepertikan” yang dalam bahasa Jawa “Tan kena kinaya ngapa”. Ketika tiba diambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam Rasa Sejati.
Suluk Saloka Jiwa Ronggo Warsito
Suluk Saloka Jiwa Ranggawarsita - Islam dan Mistik Jawa
Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaan Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.
Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursyid (guru sufi):
1) Seh Sumah,
2) She Ngusman Najid,
3) Seh Suman sendiri,
4) Seh Bukti Jalal,
5) Seh Brahmana dan
6) Seh Takru Alam.
Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.
Dunia Penciptaan.
Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begitu saja. Misalnya, dalam disertasi Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : “Islam Pertama” dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia.
Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh.
Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Suluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.
Namun antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa.
Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.
Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah :
* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.
* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.
Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawamah) yang memancarkan :
1) warna hitam;
2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;
3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan
4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.
Yang di kalangan Kebatinan Jawa di kenal sebagai: Sedulur Papat Lima Pancer
Serat Pangracutan
Arus kesadaran yang tersebar di sembilan gerbang tubuh dan indera, harus dikumpulkan di gerbang kesepuluh.
Gerbang kesepuluh adalah titik berkumpulnya kesadaran. Di situlah letak jalan untuk kita kembali. Gerbang kesepuluh juga dikenal sebagai chakra keenam, mata ketiga, bindu, pusat yang terletak di antara dua alis. Ini adalah gerbang yang melaluinya kita meninggalkan gerbang organ-organ indera dan memasuki alam ilahi dan akhirnya menjadi mapan dalam jiwa. Kita melakukan perjalanan kembali dari Alam Kegelapan ke Alam Cahaya, dari Cahaya ke Suara Ilahi, dan dari Alam Suara ke Status Tanpa Suara. Ini disebut kembali ke Sumber.













