Tharekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) adalah sebuah tarekat yang merupakan hasil unifikasi dua tharekat besar, yaitu Tharekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Penggabungan kedua tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang demikian ini memang yang terjadi dalam tarekat Qadiriyah.
Pada tahun 1878 M seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyah.[1] Tetapi beliau menyebutkan silsilah tarekatnya hanya dari sanad Tarekat Qadiriyah.[2] Sampai sekarang belum ditemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang sangat alim, Syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mencapai derajat mursyid, tetapi yang jelas pada masanya telah terdapat pusat penyebaran Tarekat Naqsabandiyah, baik di Makkah pun di Madinah sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian, ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dan mengajarkan pada murid-muridnya yang berasal dari Indonesia.[3]
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis zikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafy al-isbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model zikir sirr Ism atau zikir lathif. Dengan penggabungan itu, diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Di dalam kitab Fathul ‘Arifin dinyatakan bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan unifikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu: Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiyah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[4] Hanya saja, karena yang diutamakan adalah ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka tarekat ini diberi nama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Konon tarekat ini tidak berkembang selain di kawasan Asia Tenggara.
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadhu’ dari Syekh Ahmad Khatib yang sangat alim itu kepada pendiri kedua tarekat tersebut, sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekatnya kepada dirinya. Padahal, kalau melihat modifikasi ajaran dan tata cara ritual tarekatnya itu, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah/Sambasiyah karena tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya.
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan Nusantara dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang adalah Syekh Abd al-Karim dari Banten, Syekh Talhah dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tarekat ini berkembang dengan cukup pesat setelah Syekh Ahmad Khatib Sambas digantikan oleh Syekh Abd al-Karim Banten sebagai syekh tertinggi tarekat tersebut. Syekh Abd al-Karim adalah pimpinan pusat terakhir yang diakui dalam tarekat ini. Sejak wafatnya, tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri dan berasal dari ketiga khalifah pendirinya tersebut di atas.[5]
Sedangkan khalifah-khalifah yang lain, seperti: Muhammad Ismail ibn Abd. Rakhim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh H. Ahmad Lampung dari Lampung, dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, berarti dalam sejarah perkembangan tarekat Ini.[6]
Syekh Muhammad Ismail (Bali) menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan Barat. Adapun H. Lampung dan M. Ma’ruf al-Palembangi Mereka membawa ajaran tarekat ke daerahnya masing-masing.[7]
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di daerah Sambas (asal daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh dua khalifahnya yaitu Syekh Nuruddin dari filipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas.[8]
Sebagaimana pesantren di pulau Jawa, maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad Khatib diluar pulau Jawa kurang berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaanya tidak begitu dominan.
Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Mekkah dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan ini. Tetapi setelah Syekh Abd Karim al-Bantani meninggal, maka khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independent.[9]
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon yaitu Syekh Talhah adalah orang yang mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Talhah ini kemudian dilanjutkan oleh KH. Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad di Tasikmalaya dan K.H. Thahir Falaq di Pegentongan Bogor.
KH. Abdullah Mubarak mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Sebagai basisnya dirikanlah Pondok Pesantren Suryalaya, dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan “Abah Sepuh”. Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan oleh Abah Anom. Beliau adalah putera Abah Sepuh, bernama Sahibul Wafa’ Tajul Arifin.[10]
Di Jawa Timur, pusat penyebaran TQN yang sangat besar adalah Pondok Pesantren Rejoso, Jombang. Dari sini TQN menyebar ke berbagai penjuru di Tanah Air.[11] Tarekat ini berkembang melalui Syekh Ahmad Hasbullah, berasal dari Madura dan salah satu khalifah Syekh Ahmad Khatib, tetapi beliau juga tinggal di Makkah sampai wafatnya. Tarekat ini kemudian dibawa ke Jombang oleh KH. Khalil dari Madura (menantu KH. Tamim, pendiri Pondok Pesantren Darul ‘Ulum, Jombang), yang telah memperoleh ijazah dari KH. Ahmad Hasbullah di Makkah. Selanjutnya, K.H. Khalil menyerahkan kepemimpinan ini kepada iparnya, yaitu KH. Ramli Tamim. Setelah KH. Ramli wafat, panji kemursyidan digantikan oleh K.H. Musta’in Ramli (anak KH. Ramli sendiri).[12] Kemudian dilanjutkan oleh adiknya, K.H. Rifai’i Ramli. Sepeninggal KH. Rifa’i, jabatan mursyid selanjutnya dipegang oleh adik KH. Mustain yang lain, yaitu KH. Ahmad Dimya Ramli sampai sekarang.[13]
Di Lampung, TQN dikembangkan oleh Syekh Arsyad Alwan Banten, murid Syekh Abdul Karim Banten. Syekh Arsyad Alwan Banten menyebarkan TQN sampai ke Lampung dan membaiat Muhammad Shaleh (w. 1940 M). Dari Muhammad Shaleh mengangkat anaknya KH. Ahmad Shabir menjadi mursyid TQN sampai sekarang.[14]
Diperoleh data bahwa di Jawa Tengah ada dua Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN, yaitu Pesantren al-Futuhiyah Mranggen dan pesantren al-Nawawi Berjan Purworejo, namun Zamakhsyari Dhofier hanya menyebut lima Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa, yaitu (1) Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, (2) Pesantren pegentongan Bogor Jawa Barat, (3) Pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur, (4) Pesantren Tebuireng Jombang JawaTimur, (5) Pesantren al-Futuhiyah Mranggeng Jawa Tengah, tidak menyebut Pesantren al-Nawawi. Dengan demikian Keterangan Zamakhsyari Dhofier kurang teliti.[15]
Di Mranggen, TQN dibawa oleh KH. Ibrahim al-Brumbungi, khalifah Syekh Abd al-Karim al-Bantani. Beliau bertindak sebagai mursyid yang mandiri.[16] TQN berkembang di Mranggen di bawah kemursyidan KH. Mu’liy ibn Abd al-Rahman, seorang mursyid dan guru utama yang mengajar di Pesantren al-Futuhiyah, Mranggen. Ia telah menulis beberapa risalah yang dibaca secara luas, bahkan sampai ke kemursyidan KH. Muhammad Ali Kuala Tungkal sebagai buku pegangan, antara lain: al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-‘Araqah al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah dan ‘Umdah al-Salik fi Khair al-Masalik.
KH. Mu’liy mempunyai garis keguruan ganda dalam TQN. Dalam bukunya disebutkan, ia lebih mengutamakan gurunya yang di Banten, dari Abd al-Karim melalui Kyai Asnawi Banten dan Kyai Abd al-Latif Banten; tetapi ia juga menyebutkan seorang guru dari daerahnya sendiri, Mbah Abd al-Rahman dari Menur (sebelah Timur Mranggen), yang memperoleh ijazah dari Ibrahim al-Brumbungi (dari Brombong, di daerah yang sama), yang juga merupakan seorang khalifah Abd al-Karim.[17] Setelah KH. Mu’liy wafat pada tahun 1981, kepemimpinan tarekat ini dipegang oleh puteranya yang bernama M. Lutfil Hakim sampai saat ini.[18]
Sepulang dari Makkah, Syekh Zarkasyi bermukim di Desa Baledono Kedunglo, Purworejo, dan berguru kepada KH. Shaleh Darat di Semarang untuk memperdalam ilmu syari’at. Di samping menjadi guru Syekh Zarkasyi, KH. Shaleh Darat adalah juga teman belajar tarekat ketika masih di Makkah.
Kemudian KH. Shaleh Darat menganjurkannya untuk mendirikan masjid di Dukuh Berjan, dengan membekali dua batu merah. Mulai saat itulah berdiri sebuah mesjid yang kemudian berkembang menjadi pondok pesantren bernama Miftahul ‘Ulum (sekarang bernama Pondok Pesantren al-Nawawi).[19]
Sejak Syekh Zarkasyi menjadi mursyid (1860-1914), ia memiliki sejumlah murid dari berbagai daerah: Magelang, Temanggung, Purworejo, dan daerah sekitarnya, bahkan dari Johor, Malaysia.
Pada masa Sultan Abu Bakar (Tumenggung Abu Bakar) berkuasa di Kesultanan Johor, beliau pernah berkirim surat kepada Syekh Zarkasyi Berjan, yang pada intinya memohon kepada syekh itu untuk berkenan mengirimkan seorang guru TQN. Menyikapi permohonan tersebut, maka Syekh Zarkasyi mengirimkan seorang muridnya yang bernama Syekh Sirat untuk mengajarkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Johor, Malaysia. Syekh Sirat berasal dari Dusun Buntil, sebuah dusun di sebelah Utara Dusun Berjan, dan masih dalam wilayah Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo, Jawa Tengah.
——————–
[1] Zurkani Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiryah wa Naqsabndiyah dan perkembangannya, dalam: Harun Nasution, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah: Sejarah, Asal-usul, dan perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1990), hlm. 83.
[2] Dari berbagai silsilah yang penulis dapatkan disemua cabang, silsilah ini bersumber pada satu sanad, yaitu dari syekh Abd al-Qadir al-jailani. Lihat misalnya: Muhammad Usman ibn Nad al-Isaqi, al-Khujah al-Wafiyah al-Adab wa Kafiyah al-Ikr ‘Inda Sadah al-Qadiriyah al-Naqsbandiyah, (Surabaya: al-Fitrah, 1994), hlm. 16-18
[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Qadiriyah wa Naqsbandiyah, (Bandung: Mizan Anggot Ikapi, 1992), hlm. 100
[4] Ahmad Khatib Sambas, Fathul ‘Arifin, (Surabaya: Syarikat Bengkulu Indah), hlm. 2
[5] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 92
[6] Ibid, hlm. 92
[7] Ibid, hlm. 93
[8] Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara, (Surabaya: Al-ihlas, 1990), hlm. 177
[9] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94
[10] Zurkani Yahya, Op. Cit., hlm. 88
[11] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 96
[12] Ibid, 96
[13] Kharisdun Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1998) hlm. 55-56
[14] Ahmad Rahman, K.H. Ahmad Shabir: Biografi Sosial Intlektual, Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Pena Mas No. 40, th ke-14, (Jakarta : Balitbang Departemen Agama, 2001), hlm. 58
[15] Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan HIdup Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1994). hlm. 90. Penelitian ini merupakan tambahan terhadap hasil penelitian Martin van Bruinessen dan Zamakhsyari Dhofier yang menyebutkan hanya pesantren al-Futhiyah, Mranggen, yang dipimpin oleh Mursyid K.H. Mjli, sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa Tengah.
[16] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94-95
[17] Ibid, hlm. 95
[18] Ibid, hlm, 95
[19] Syekh Zarkasyi atau kurun waktu dengan Syekh Shaleh Darat Semarang; di mana yang kedua ini merupakan guru Syekh Zarkasyi sendiri.